A. PENGERTIAN FILSAFAT HUMANISME
Humanisme adalah
istilah umum untuk berbagai jalan pikiran yang berbeda yang memfokuskan dirinya
ke jalan keluar umum dalam masalah-masalah atau isu-isu yang berhubungan dengan
manusia. Humanisme telah menjadi sejenis doktrin beretika yang cakupannya
diperluas hingga mencapai seluruh etnisitas manusia, berlawanan dengan
sistem-sistem beretika tradisonal yang hanya berlaku bagi kelompok-kelompok
etnis tertentu.
Humanisme modern
dibagi kepada dua aliran. Humanisme keagamaan/religi berakar dari tradisi
Renaisans-Pencerahan dan diikuti banyak seniman, umat Kristen garis tengah, dan
para cendekiawan dalam kesenian bebas. Pandangan mereka biasanya terfokus pada
martabat dan kebudiluhuran dari keberhasilan serta kemungkinan yang dihasilkan
umat manusia.
Humanisme sekular
mencerminkan bangkitnya globalisme, teknologi, dan jatuhnya kekuasaan agama.
Humanisme sekular juga percaya pada martabat dan nilai seseorang dan kemampuan
untuk memperoleh kesadaran diri melalui logika. Orang-orang yang masuk dalam
kategori ini menganggap bahwa mereka merupakan jawaban atas perlunya sebuah
filsafat umum yang tidak dibatasi perbedaan kebudayaan yang diakibatkan
adat-istiadat dan agama.
B. KEDUDUKAN MENUSIA
DALAM FILSAFAT HUMANISTIK DAN ILMU-ILMU
SOSIAL HUMANISTIK
Humanistik ditinjau
dari segi historinya ialah berasal dari suatu gerakan intelektual dan
kesusastraan yang pertama kali muncul di Italia pada paruh kedua abad ke-14
masehi. Pergerakan ini merupakan motor penggerak kebudayaan modern, khususnya
di Eropa. Sedangkan jika ditinjau dari segi filsafat, humanistik adalah faham
atau aliran yang menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia, sehingga manusia
menduduki posisi yang sangat sentral dan penting, baik dalam perenungan
teoritis-filsafati maupun dalam praktis hidup sehari-hari. Maka dalam faham
filsafat ini mengatakan bahwa segala sesuatu ukuran penilaian dan referensi
akhir dari semua kejadian manusiawi dikembalikan kepada manusia itu sendiri,
bukan pada kekuatan-kekuatan diluar manusia (misalnya, kekuatan Tuhan atau
alam).
Humanisme sebagai
suatu gerakan intelektual dan kesusastraan pada prinsipnya merupakan aspek
dasar dari gerakan Renaisanse (abad ke 14-16 M.) tujuan gerakan humanisme
adalah melepaskan diri dari belenggu kekuasaan Gereja dan membebaskan akal budi
dari kungkungannya yang mengikat. Maka dalam batasan-batasan tertentu, segala
bentuk kekuatan dari luar yang membelenggu kebebasan manusia harus segera
dipatahkan.
Kebebasan merupakan
tema terpenting dari humanisme, tetapi bukan kebebasan yang absolut, atau
kebebasan yang hanya sebagai antitesis dari diterminisme abad pertengahan yang
dilakukan oleh orang-orang Gereja pada waktu itu, tapi bukan berarti Humanisme
pada waktu itu menentang tentang adanya kekuasaan Tuhan. Namun, mereka percaya
bahwa di balik kekuasaan Tuhan, masih banyak peluang bagi manusia untuk
menentukan jalan hidupnya, mengembangkan potensi dan memilih masa depannya
sendiri, tanpa terbelenggu oleh kodrat atau ketakutan terhadap murka Tuhan.
Mereka berpedoman bahwa, kebebasan manusia itu ada, dan perlu dipertahankan dan
di expresikan.
Di depan sudah
dijelaskan bahwa manusia adalah pusat dari Realitas, sehingga segala sesuatu
yang terdapat di dalam realitas harus dikembalikan lagi pada manusia. Dengan
demikian, tidak dibenarkan adanya penilaian atau interpretasi tentang kejadian
atau gejala manusiawi yang menempatkan manusianya sendiri sebagai
entitas-entitas marginal atau pinggiran (peripheral).
Jika humanisme diartikan seperti itu, maka aliran filsafat seperti marxisme, pragmatisme, dan existensialisme dapat dikategorikan ke dalam humanisme.
Jika humanisme diartikan seperti itu, maka aliran filsafat seperti marxisme, pragmatisme, dan existensialisme dapat dikategorikan ke dalam humanisme.
1. faham
marxisme pada dasarnya mendudukkan manusia (masyarakat / kaum buruh) pada pusat
kehidupan. Secara teoritis, paling tidak menjunjung tinggi martabat dan
kemanusiaan masyarakat buruh.
2. Pragmatismepun
adalah humanisme, karena paham inipun menempatkan manusia pada posisi yang
sentral dalam realitas. Segala sesuatu yang ada pada realitas selalu
dihubungkan
dengan kegunaannya bagi manusia dalam menuju hidup yang lebih baik.
3 .
Existensialismepun juga termasuk humanisme. Menurut paham ini, tidak ada dunia
diluar dunia manusia, dan di dalam dunianya itu manusia berada dalam posisi
yang paling sentral.
Paham humanisme
dalam perkembangannya tidak lagi mengacu pada gerakan pembebasan pada zaman
Renaisance dan dari doktrin-doktrin yang membelenggu manusia, melainkan
berkembang dalam ilmu-ilmu pengetahuan. Misalnya kita sering mendengar tentang
ilmu-ilmu pengetahuan humanistik. Tetapi apakah artinya itu?
Wilhelm Dulthey
(1833-1911) dalam gagasannya tentang Geisteswissenchaften, yang akan kita
jadikan ancang-ancang untuk menjawab tentang pertanyaan di atas.
Istilah Geisteswissenchaften bisa kita terjemahkan sebagai “ilmu-ilmu tentang manusia”. Disiplin keilmuan yang menurut Dilthey menggunakan metode ini adalah apa yang biasanya kita sebut ilmu-ilmu sosial, misalnya ekonomi, psikologi, antropologi budaya, sosiologi, ilmu hukum, ilmu politik.
Istilah Geisteswissenchaften bisa kita terjemahkan sebagai “ilmu-ilmu tentang manusia”. Disiplin keilmuan yang menurut Dilthey menggunakan metode ini adalah apa yang biasanya kita sebut ilmu-ilmu sosial, misalnya ekonomi, psikologi, antropologi budaya, sosiologi, ilmu hukum, ilmu politik.
Pertanyaan
berikutnya adalah di manakah letak humanistiknya Geisteswissenchaften, atau
dalam hal apakah Geisteswissenchaften dikatakan sebagai humanistik? Konsep
Dilthey tentang manusia memang berbau humanisme. Menurut dia, gejala manusia
adalah unik dengan tidak berhingga, sehingga tidak dapat disejajarkan begitu
saja dengan gejala-gejala alam yang lain. Manusia adalah subyek, bukan obyek.
Jawaban tentang
pertanyaan yang tepat untuk pertanyaan di atas adalah dengan melihat ciri
humanistik Geisteswissenchaften. Yakini, tekanannya pada keunikan,
subjektivitas, dan kerohanian manusia. Dalam Geisteswissenchaften manusia
ditinggikan nilai dan martabatnya.
Namun ada juga
kalangan yang tidak setuju dengan teorinya Dilthey tentang Geisteswissenchaften
yang seolah-olah meniadakan Naturwissenchaften (alam fisik yang natural).
Seperti halnya Sosiologi Humanistiknya Max Webber, tidak lalu menghilangkan
peran statistik. Demikian pula dengan Psikolog Humanistiknya Abraham Maslow,
yang tidak mengabaikan arti pentingnya Behaviorisme dan Psikoanalisa. Satu hal
yang tampaknya menjadi trade mark mereka adalah: Manusia yang menjadi “obyek”
telaah ilmu-ilmu mereka, diperlakukan secara hormat sebagai “subyek”. Maka sah
saja bagi kita untuk mendefinisikan ilmu-ilmu humanistik sebagai ilmu-ilmu yang
menempatkan manusia sebagai subyek, sedemikian rupa sehingga manusia tetap
dijunjung tinggi nilai dan martabat kemanusiaannya.
C. HUMANISME ISLAM ABAD XXI
Apakah humanisme
Islam dapat diimplementasikan dalam pelataran hidup umat manusia pada abad XXI,
ternyata merupakan sebuah tanda tanya besar. Tetap tak ada jawaban pasti hingga
kini, apakah humanisme Islam memiliki tempat yang istimewa dalam perkembangan
sejarah kaum Muslim pada abad XXI.
Memang, Islam hadir
sebagai agama berpengaruh di dunia justru karena mengandung ajaran yang
menjunjung tinggi humanisme. Islam memandang bermakna kehidupan umat manusia
(Al Qur’an, 21/Al Anbiyaa’: 10). Itulah mengapa, sejak abad X Islam berhasil
mendorong lahirnya kebudayaan dan peradaban yang kemudian memberikan penekanan
pada pentingnya warisan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani Kuno. Inilah yang
kemudian ditengarai sebagai “Renaisans Islam”. Sekitar dua abad kemudiaan
setelah itu, yakni pada abad XII, Renaisans Islam diduplikasi oleh Renaisans
Barat .Apa yang kemudian bisa disimpulkan adalah ini. Jika Renaisans Islam pada
abad X merupakan momentum waktu bagi terjadinya penyerapan terhadap warisan
ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani Kuno, maka Renaisans abad XII di Barat
merupakan sebuah kurun waktu bagi terjadinya penyerapan terhadap warisan Yunani
Kuno dan warisan Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat.
1. Realitas Suram
Pertanyaannya
kemudian, apakah pengalaman historis memasuki fase Renaisans abad X itu dapat
humanisme?
Ternyata, jawaban
terhadap pertanyaan tersebut tidaklah cukup mengembirakan. Abad XXI kini justru
ditandai oleh munculnya apa yang disebut the
problem with Islam (lihat Sam Harris, The End of
Faith: Religion, Terror, and the Future of Reason [London: The Free
Press, 2005], hlm. 108-152). Etika, epistemologi dan praksis kehidupan umat
Islam kini tak sejalan dengan cita-cita humanisme Islam yang muncul pada abad
X. Realitas yang terbentang dalam kehidupan kaum Muslim pada abad XXI kini
justru mengingkari keagungan Islam sendiri sebagai agama yang mampu
menyuntikkan spirit untuk menjunjung tinggi ilmu pengetahuan (Al Qur’an, 58/Al
Mujaadilah:11).
Umat Islam malah
lekat dengan gambaran radikalisme, terorisme dan keterbelakangan dalam bidang
sosial maupun ekonomi. Umat Islam yang besar secara kuantitas bukanlah kekuatan
yang berdiri di garda depan perkembangan dahsyat ilmu pengetahuan dan filsafat.
Umat Islam benar-benar laksana buih di lautan yang dihempaskan ombak ke pantai.
Para cendekiawan Muslim yang sadar akan kenyataan ini lantas berhadapan dengan
pertanyaan besar: Apakah abad XXI kini merupakan episode keterjatuhan umat
Islam hingga pada titik nadir yang sangat dalam?
Realitas suram
dalam kehidupan umat Islam pada abad XXI dapat disimak pada berbagai kontras
yang terjadi antara dulu dan kini. Ketika para ilmuwan Muslim pada abad
pertengahan berhasil menemukan aljabar, mengembangkan ilmu pengetahuan
eksperimental serta menerjamahkan karya-karya Plato dan Aristoteles dalam
bidang filsafat, humanisme Islam abad X sesungguhnya memiliki bentuk secara
lebih kongkret dibandingkan dengan humanisme sekuler yang berkembang kemudian
di Eropa sejak sekitar abad XII. Mengingat tak pernah ada jejak anti-ilmu
pengetahuan yang tertoreh ke dalam Al Qur’an, maka warisan paling berharga dari
Renaisans Islam adalah the great kingdom of reason.
Itulah mengapa,
secara substansial, kaum Muslim tak pernah berada dalam satu titik pertentangan
antara rasio dan dan wahyu (reason and revelation).
Sebagaimana tampak
pada pengaruhnya di Eropa Barat melalui jalan penyebaran Islam di Spanyol,
keberagamaan kaum Muslim benar-benar melahirkan kebudayaan dan peradaban.
Sementara, kebudayaan dan peradaban itu memberi tempat secara terhormat kepada
humanisme. Sayangnya, kenyataan itu tak cukup diapresiasi pada abad XXI kini.
Umat Islam telah mencerai-beraikan keyakinan keagamaan mereka dengan humanisme.
Tak mengherankan jika muncul pola-pola keberagamaan yang garang, tetapi
kemudian dibanggakan sebagai suatu bentuk keber-Islam-an yang gagah perkasa.
Pada berbagai
negara bangsa dengan umat Islam sebagai yang terbesar secara demografis, perbenturan
wahyu dan rasio benar-benar mengemuka sebagai persoalan. Tragisnya lagi,
persoalan tersebut mengejawantah ke dalam dunia politik. Praktik keberagamaan
Islam dalam konteks ini benar-benar kehilangan watak humanistiknya. Atas nama
Islam, sekelompok orang dengan mudahnya mengembangkan radikalisme dan terseret
ke dalam aksi-aksi teror. Bukan saja umat Islam semakin tampak gamblang
kejumudannya, lebih dari itu ekspresi keber-Islam-an kaum Muslim telah
sedemikian rupa mengingkari arti penting penghargaan terhadap humanisme.
2. Islam di Indonesia
2. Islam di Indonesia
Di Indonesia, umat
Islam mengambil pilihan-pilihan politik tanpa disertai oleh kesadaran yang utuh
terhadap tantangan humanisme abad XXI. Berapa banyak partai Islam yang lahir
selama kurun waktu pasca-Orde Baru, ternyata tidaklah memiliki kejelasan
koherensi dengan tantangan untuk kembali mengutuhkan humanisme Islam yang
begitu agung sebagaimana tampak pada perkembangan selama abad X. Partai-partai
Islam justru hadir hanya untuk mempertegas kecenderungan politisasi agama.
Dengan demikian berarti, Islam hanya dijadikan basis legitimasi untuk meraih
kekuasaan politik. Maka, bukan hal yang aneh jika kehadiran partai-partai Islam
selama kurun waktu pasca-Orde Baru tak berbanding lurus dengan Renaisans Islam.
Bahkan, Renaisans Islam tak tercakup ke dalam agenda partai politik Islam.
Dalam contoh soal
lahirnya qanon atau peraturan
daerah di Aceh berisikan hukum jinayat, sekali lagi
sebuah persoalan dalam kaitannya dengan humanisme Islam muncul ke permukaan.
Salah satu bentuk sanksi yang disahkan dalam hukumjinayat itu adalah hukuman rajam hingga
meninggal dunia bagi pelaku zina yang terbukti serta pelakunya sudah memiliki
pasangan resmi atau telah menikah. Partai-partai Islam yang mendukung qanon ini sesungguhnya tak cukup memiliki
argumentasi untuk menjelaskan bahwa pelaksanaan hukum jinayat koherens dengan humanisme Islam pada
abad XXI. Seorang politikus dari sebuah partai Islam hanya berbicara tentang
tak adanya alasan untuk menunda pengesahan dan penerapan hukum jinayat dan hukum acara jinayat di Aceh. Namun apa landasan
pelaksanaan hukum jinayat sejalan dengan
realitas sosiologis masyarakat Aceh, ternyata tak pernah jelas filosofinya.
Dalam humanisme
Islam, manusia didewasakan untuk mencapai kesadaran eksistensial melalui
pedagogi yang bersifat dialogis. Humanisme Islam meniscayakan tak adanya
distorsi antara dimensi sakral dan profan, baik pada realitas hidup personal
yang kreatif maupun dalam orde kemasyarakatan yang dinamis. Artikulasi peran
sosiologis seseorang di tengah kancah kehidupan publik dipersyaratkan oleh tak
adanya benturan antara dimensi sakral dan profan (Al Qur’an, 91/Asy-Syams: 9).
Pedagogi dalam konteks humanisme Islam melahirkan perilaku sakral dalam ruang
profan. Inilah hakikat rahmatan lil ‘alamin dalam maknanya yang
hakiki. Maka, masyarakat zero perzinaan bukanlah
resultante dari berlakunya hukum jinayat, tetapi lebih
karena berlangsungnya pedagogi humanisme Islam.
Masyarakat zero perzinahan, dengan demikian,
dikonstruksi melalui: (1) ketepatan materi dan proses pengajaran dalam dunia
pendidikan, (2) terwujudnya keadilan sosial dan ekonomi, serta (3)
terselenggaranya kesetaraan gender dalam relasi maskulinitas-feminitas. Ini
berarti, dibutuhkan cara hidup berbangsa dan bernegara berlandaskan pada
kebenaran. Tentu saja, pembicaraan tentang perzinahan dalam konteks ini
hanyalah sebuah contoh soal yang mengilustrasikan adanya jalan pragmatis
partai-partai politik Islam. Mereka lebih memilih upaya-upaya heroik melalui
jalan legal-formal ketimbang mengambil opsi pedagogis ke arah terwujudnya
humanisme Islam.
Jelas pada
akhirnya, bahwa pada abad XXI Islam di Indonesia belum merupakan sesuatu yang
menarik. Seperti di belahan dunia Muslim yang lain, Islam di Indonesia masih
harus bercermin untuk memperbaiki diri. Dan apa boleh buat, cermin itu adalah
Renaisans Islam yang pernah ada dalam sejarah.
D. Sejarah Perkembangan Filsafat
Humanisme
Sejarah
perkembangan aliran filsafat pendidikan humanisme ditelusuri pada masa klasik
barat dan masa klasik timur. Dasar pemikiran filsafat aliran filsafat
pendidikan ditemukan dalam pemikiran filsafat klasik cina konfusius dan
pemikiran filsafat klasik yunani.
Aliran psikologi
humanis itu muncul sebagai gerakan besar psikologi dalam tahun 1950-an dan
1960-an. Dimana perkembangan peradapan baru itu dikenal dengan nama renaisans
yang terjadi pada abad 16. zaman renaisans dikenal dengan sebutan jaman
kebangkitan kembali. Selain itu juga dikenal dengan nama jaman pemikiran (age
of reason), perkembangan filsafat, ilmu, dan kemanusiaan mengalami kebangkitan
setelah lama di kungkung oleh kekerasan dogma-dogma agama. (cooper dalam
Hanurawan, 2006).
Humanisme sebagai
suatu gerakan filsafat dan geerakan kebudayaan berkembang sebagai suatu reaksi
terhadap dehumanis yang telah terjadi berabad-abad. Terjadi dalam dunia Eropa
sebagai akibat langsung dari kekuasaan para pemimpin agama yang merasa menjadi
satu-satunya otoritas dalam memberikan intepretasi terhadap dogma-dogma agam
yang kemudian diterjemahkan kedalam segenap bidang kehidupan di Eropa. Dalam
kontek reaksi ini, pelopor humanisme menjelaskan bahwa manusia dengan segenap
kebebasan memiliki potensi yang sangat besar dalam menjalankan kehidupan ini
secara mandiri untuk mencapai keberhasilan hidup didunia.
Perkembangan
selanjutnya terjadi pada abad 18. periode perkembangan ini dimasukan kedalam
masa penceraha (aufklarung). Tokoh humanis yang muncul adalah J.J Rousseu.
Tokoh ini mengutamakan pandangan tentang perkembangan alamiah manusia sebagai
metode untuk mencoba keparipurnaan tujuan-tujuan pendidikan.
Pada abad 20
terjadi perkembangan humanistic yang disebut humanisme kontemporer. Humanisme
kontemporer merupakan reaksi protes atau gerakan protes terhadap dominasi
kekuatan-kekuatan yang mengancam eksistensi nilai-nilai kemanusiaan yang ada
dalam diri manusia di era modern. Perkembangan lebih lanjut dari filsafat
humanis ini adalah berkenaan dengan peran dan kontribusi filsafat
eksistensialisme yang cukup memberikan kontribusi dalam filsafat pendidikan
humanistic.
Pemikiran filsafat
eksistensialisme menyebutkan bahwa:
1. mannusia memilki keberadaan yang unik
dalam dirinya berbeda antara mannusia satu dengan manusia lain. Dalam hal ini
telaah tentang manusia diarahkan pada individualitas manusia sebagai unit
analisisnya.
2. Eksistensialis lebih memperhatiakn
pemahaman makna dan tujuan hidup manusia ketimbang melakukan pemahaman terhadap
kajian-kajian ilmiah, dan metafisika tentang alam semesta.
3. Kebebasan individu sebagai milik
manusia adalah sesuatu yang paling utama dan paling unik, karena setiap
individu memilki kebebasan untuk memilki sikap hidup, tujuan hidup dan cara
hidup sendiri (Stevenson dalam Hanurawan,2006)
Aliran filsafat
eksistensialis ini kemudian dikembangkan dalam dunia pendidikan karena fungsi
pendidikan adalah memberikan proses perkembangan manusia secara otentik.
Manusia otentik adalah manusia yang dalam kepribadian diri memilki tanggung
jawab dan kesadaran diri untuk menghadapi persoalan-persoalan hidup dalam alam
hidup modern
Kedua aliran
tersebut memberikan perkembangan pada aliran filsafat pendidikan humanisme. Hal
ini dapat ditunjukan melalui pengembangan konsep perkembangan psikologis
peserta didik dan metode pengajaran yang sesuai dengan perkembangan humanistic
setiap individu.Aliran psikologi humanistic memiliki pandangan tentang manusia
yang memilki keunikan tersendiri, memilki potensi yang perlu diaktualisasikan
dan memilki dorongan-dorongan yang murni berasal dari dalam dirinya. Individu
manusia yang telah bersasal dari dirinya (Hanurawan,2006).
E. Konsep Pemikiran Filsafat
Psikologi Humanistik
Konsep pemikiran
filsafat psikologi humanistic yang dikemukakan oleh filsuf humanis meliputi
pandangan tentang hakeket manusia, pandangan tentang kebebasan dan otonomi
manusia, konsep diri (self concept),
dan diri individu serta aktualisasi diri (Hanurawan,2006). Konsep pemikiran
tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
1.Pandangan tentang
hakekat manusia
Hakekat manusia
dalam pandangan filosuf humanistic adalah manusia memilki hakekat kebaikan
dalam dirinya. Dalam hal ini apabila manusia berada dalam lingkungan yang
kondusif bagi perkembangan potensialitas dan diberi semacam kebebasan untuk
berkembang maka mereka akan mampu untuk mengaktualisasikan atau merealisasikan
sikap dan perilaku yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan lingkungan
masyarakat pada umumnya (Hanurawan,2006).
2. Pandangan
tentang kebebasan dan otonomi manusia
Penganut aliran
humanistic memberikan pandangan bahwa setiap manusia memilki kebebasan dan
otonomi memberikan konsekuensi langsung pada pandangan terhadap individualitas
manusia dan potensialitas manusia. Individualitas manusia yang unik dalam diri
setiap pribadi harus dihormati. Berdasarkan pandangan ini, salah satu upaya
pengembangan sumber daya manusia yang perlu dilakukan dalam proses pendidikan
untuk mencapai hasil yang maksimal adalah pemberian kesempatan kepada
berkembangnya aspek-aspek yang ada dalam diri individu.
3. Pandangan tentang diri (the self) dan konsep diri (self
concept)
Diri (the self)
menurut penganut filsafat humanis merupakan pusat kepribadian yang
pengembangannya dapat dipenuhi melalui proses aktualisasi potensi-potensi yang
dimiliki seseorang. Diri (the self) yang ada dalam diri seseorang digambarkan
sebagai jumlah keseluruhan yang utuh dalam diri individu yang dapat membedakan
diri seseorang dengan orang lain. (Ellias dan Meriam dalam Hanurawan, 2006).
Dalam diri (the
self) seseorang terdapat perasaa, sikap, kecerdasan, intelektual, kecerdasan
emosional, kecerdasan spiritual dan karakteristik fisik.Sedangkan konsep diri
(self concept) menurut Kendler dalam Hanurawan 2006 merupakan keseluruhan
presepsi dan penilaian subyektif yang memiliki fungsi menentukan tingkah laku
dan memiliki pengaruh yang cukup besar untuk tumbuh dan berkembang. Pertumbuhan
perkembangan individu merupakan potensialitas individu untuk aktualisasi diri.
Aktualisasi diri merupakan kemampuan manusia menghadirkan diri secara nyata
(menurut maslow dalam Hanurawan 2006). Aktualisasi diri terwujud dalam diri manusia untuk memperoleh pemenuhan diri (self fulfillment)
sesuai dengan potensi-potensi yang dimilikinya. Dengan aktualisasi diri,
manusia mampu mengembang keunukan kemanusiaannya guna meningkat kualitas
kehidupan serta dapat mengubah situasi kea rah yang lebih baik.
F. Implikasi
Pendidikan Psikologi Humanis dalam Prose Pendidikan
Pandangan utama
aliran filosofis pendidikan humanistic adalah proses pendidikan berpusat pada
subyek didik. Roger dalam Dimyati dan Mudjiono (2002) berpendapat belajar akan
optimal apabila siswa terlibat secara penuh dan sungguh serta berpartisipasi
secara bertanggung jawab dalam proses belajar. Proses pendidikan berpusat pada
subyek didik, dalam hal ini peran guru dalam proses pendidikan sebagai
fasiltator dan proses pembelajaran dalam kontek proses penemuan yang bersifat
mandiri (Hanurawan,2006). Searah dengan pandangan tersebut maka hakekat
pendidik adalah fasilitator baik dalam aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Untuk itu seorang pendidik harus mampu membangun suasana belajar
yang kondusif untuk belajar mandiri. Proses belajar hendaknya merupakan
kegiatan untuk mengeksploitasi diri yang memungkinkan pengembangan keterlibatan
secara aktif subyek didik untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman belajar.
Berdasarkan hal
tersebut diatas maka system belajar yang cocok untuk pendidikan humanis ini
adalah Enquiry Discovery yakni belajar penyelidikan dan penemuan. Dalam proses
belajar mengajar system Enquiry Discovery ini guru tidak akan menyajikan bahan
pelajaran dalam bentuk final, dengan kata lain guru hanya menyajikan sebagian,
selebihnya siswa yang mencari atau menemukan sendiri.
Adapun tahapan dalam prosedur Enquiry
Discovery adalah:
1. Stimulation (stimulasi/ pemberi
rangsangan), yakni memulai kegiatan PBM dengan mengajukan pertanyaan, anjuran
membaca buku, aktifitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan
masalah.
2. Problem statement (pernyataan /
identifikasi masalah), yakni memberi kesempatan kepada siswa untuk
mengidentifikasikan sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan
bahan pelajaran, kemudian dipilih salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam
bentuk hipotesis.
3. Data collection (pengumpulan data),
yakni memberi kesempatan kepad para siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya
yang relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis.
4. Data prosesing (pengolahan data),
yakni mengolah data dan informasi yang telah diperoleh para siswa baik melalui
wawancara, observasi, dan sabagainya lalu ditafsirkan.
5. Verification (pentahkikan), yakni
melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya
hipotesis yang ditetapkan tadi dihubungkan dengan data prosesing.
6. Generalization (generalisasi), yakni
menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan sebuah kesimpulan yang dapat
dijadikan prinsip umum.( Syah, Muhibbin,2004)
Melalui
pembelajaran Enquiry Discovery / penemuan menurut Hanurawan (2006) akan dapat
membawa pengalaman pada diri pembelajar dalam mengidentifikasi, memahami
masalah-masalah yang dihadapi sehingga menemukan sesuatu pengetahuan yang
bermakna bagi dirinya.
Seperti telah
dikemukakan diatas, dalam proses pembelajaran dengan enqiry discovery ini guru
berperan sebagai fasilitator. Menurut Hanurawan (2006) fungsi tugas
kefasilitatoran guru dalam KBM harus dapat menumbuhkan keyakinan dalam diri
pebelajar dalam kegiatan yang dilakukan. Yang berarti guru harus dapat
menstimulus pebelajar untuk berpartisipasi secara aktif dalam pembelajaran. Hal
ini sesuai dengan kontek pembelajaran humanistic menurut Maslow bahwa guru
adalah pembantu sekaligus mitra dalam melakukan aktualisasi diri.
Peran guru sebagai
fasilitator menurut Abu dan Supriono,W (2004) dapat diwujudkan dengan
memperhatiakan penciptaan suasana awal, situasi kelompok atau pengalaman kelas,
memperjelas tujuan di dalam kelas. Menyediakan sumber-sumber belajar untuk
dimanfaatkan pebelajar dalam rangka mencapai tujuannya, dan mengambil prakarsa
untuk ikut dalam kelompok kelas.
Hal-hal penting yang harus
diperhatikan dalam proses pembelajaran menurut pandangan psikologi humanistic
yaitu:
1. Setiap individu mempunyai kemampuan
bawaan untuk belajar.
2. Belajar akan bermanfaat bila siswa
menyadari manfaatnya.
3. Belajar akan berarti bila dilakukan
lewat pengalaman sendiri dan uji coba sendiri.
4. Belajar dengan prakarasa sendiri
penuh kesadaran dan kemampuan dapat berlangsung lama.
5. Kreatifitas dan kepercayaan dari
orang lain tumbuh dari suasana kebebasan.
6. Belajar akan berhasil bila siswa
berpartisipasi secara aktif dan disiplin setiap kegiatan belajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar