Kamis, 22 Januari 2015

LIMA CABANG FILSAFAT ILMU




Ada tiga cabang filsafat ilmu yang dikenal, yaitu : ontologi epistemologi, dan axiologi. Selanjutnya, menurut Prof. Noeng, terdapat dua cabang baru dari filsafat ilmu, yaitu Filsafat Teknologi dan Filsafat Kebijakan. Filsafat kebijakan ini sebagai langkah antisipatif terhadap potensialnya Studi Kebijakan menjadi Filsafat Kebijakan. Pada dataran pertama mencari kebenaran rasional, empirik, dan logik. Pada dataran kedua mencari kebenaran fungsional, efisien, dan produktif. Pada dataran ketiga mencari kebenaran dalam alternatif yang terbaik bagi keadilan dan kemanusiaan.
1. Ontologi
Kebenaran yang ada, the being, menjadi masalah ontologi. Filsafat metafisika dan filsafat empirisme membahas tentang the being. Pembahasan being ini menjadi sangat penting karena agar tidak terjadi dekonstruksi dengan tujuan filsafat ilmu yaitu tidak menolak ontology. Ontologi mempelajari yang metaphisik, bukan yang phisik. Mempelajari yang di atas indriawi. Filsafat barat hanya mengakui kebenaran the regularity of the universe. Sehingga ontologi Barat disebut ontologi yang anti-ontologi. Islam mengakui minisme multifaset atau ontology tunggal sekuensial, bahwa di alam semesta ini ada tiga tampilan/sekuensi tetapi muara kebenarannya satu. Pertama, tampilan/sekuensi alam semesta yaitu tampilan takdir. Kedua adalah tampilan/sekuensi manusia, yaitu sosok yang memiliki kreatifitas, yang berlaku hokum sunatullah. Ketiga tampilan/sekuensi Tuhan. Tuhan di sini tidak boleh dikonsepsikan sebagai sesuatu, tetapi hendaknya dikembangkan sebagai persepsi yang penuh rahmah, rahim, dan maghfirah. Kebenaran alam mengikuti takdir, kebenaran manusia mengikuti sunnatullah, dan kebenaran Tuhan kita persepsikan yang penuh rahmah, rahim, dan maghfirah. Filsafat metafisika membahas tentang the being. Filsafat empirisme membahas tentang being pula. Pembahasan being ini menjadi sangat penting karena agar tidak terjadi dekonstruksi dengan tujuan filsafat ilmu yaitu tidak menolak ontologi.
2. Epistemologi
Epistemologi berupaya mencari kebenaran (truth) berdasar fakta. Kebenaran dibangun dengan logika dan didahului oleh uji konfirmasi tentang data yang dihimpun. Epistemologi berupaya menghimpun empiri yang relevan untuk dibangun secara rasional menjadi kebenaran ilmu. Kebenaran empiric dicari dan dibuktikan untuk menemukan kebenaran (the truth) empirik yang cocok dengan kebenaran (the truth) rasional. “Fakta” dengan tanda petik tersebut akan tergantung pandangan filosofik yang digunakan. Positivisme mengakui sesuatu sebagai fakta bila memang obyektif dan indriawi. Phenomenologi mengakui sebagai fakta berdasar persepsi seubyek yang diteliti. Ekspresi bahasa diakui sebagai kebenaran bila mengikuti konsep strukturalisme tertentu atau poststrukturalisme.
3. Axiologi
Kebenaran axiologi adalah kebenaran the right. Epistemologi membuktikan kebenaran dalam makna the truth or false; axiologi membangun kebenaran dalam makna the right or wrong. Mencari etika baik-buruk. Axiologi berupaya mengembangkan konsep ethic baik-buruk, yang menjangkau baik-buruk dalam makna ethic ontologik dan ethic deontologik. Baik-buruk mencakup dalam makna ethis, rasional, dan aesthetis. Makna ethic ontologik adalah makna yang berkembang dalam berbagai ajaran agama. Adapun makna ethic deontologik adalah makna yang berkembang dalam konteks budaya. Ethik dalam makna ethis menjadi koheren; dalam makna rasonal menjadi sinkron; dalam makna aesthetis menjadi harmonis. Ethik Islam dibangun dari pandangan tasawuf. Dan akan ketemu tasawuf Bayani yang naqliyah sunni, dan akan ketemu tasawuf Irfani yang naqliyah intuitif, kasf, khuduri. Dan akan ketemu tasawuf Burhani yang ‘aqliyah dengan penalaran intelektual kreatif inferensial.
4. Teknologi
Dari pragmatism AS telah mengembangkan landasan filsafat dan akhirnya pragmatism yang memiliki landasan filsafat berkembang menjadi Filsafat Teknologi. Para ahli filsafat telah mengangkat filsafat teknologi sebagai cabang keempat studi filsafat ilmu, mendampingi tiga yang lama yaitu ontologi, epistemology, dan axiology. Kamera sebagai kepanjangan mata, mobil sebagai kepanjangan kaki, kran pengangkat barang sebagai pengganti kekuatan otot. Pandangan seperti itu merefleksikan orgam based projection, dan rumusan teknologi seperti itu merefleksikan engineering philosophy of technology. Antropologi sejarah menunjuk perkembangan sejarah berdasar artifak materiil menjadi : zaman batu, zaman perunggu, zaman besi dan seterusnya. Dan era postmodern memiliki artifak komunikasi elektronik seperti TV, computer, dan semacamnya.
Menurut Prof Noeng, rekayasa teknologi yaitu produk curiousity creative in action yang meta-etik dan diangkat lebih jauh menjadi transformation of Human Ideas in Action, tidak sekedar produk artifak. Dengan demikian, ada pengakuan tentang scientific values yang dimuarakan pada action.
Pandangan terdahulu sejak era Romawi abad 1 – 4 Masehi, era Islam Andalusia abad 8 – 11, era renaissans dan humanism Eropa abad 15 – 17 M, era modern abad 18 sampai medio abad 20 M teknologi merupakan means untuk mencapai ends (entah keagungan Negara, entah teosentris, entah antroposentris, entah humanistic, entah materialistic), sejak medio abad 20M, lebih eksplisitnya temuan computer science dan kemampuan menjangkau ruang angkasa, teknologi sudah bergeser menjadi extendo ad transformation of human ideas for action. Temuan computer dan menjangkau ruang angkasa bukan tujuan, melainkan means untuk menjadi bertambah kreatif. Dengan bergesernya means-ends-means-ends berkelanjutan, menjadi means-means-means berkelanjutan maka pragmatism meta-etik benar-benar telah menjadi filsafat teknologi, cabang keempat dari filsafat ilmu.
5. Kebijakan
Menurut Prof. Noeng, sebagai langkah antisipasi tentang pengakuan studi kebijakan akan menjadi bagian dari filsafat ilmu di masa depan yang tidak terlalu lama. Cinta manusia bukan sebatas in action professional, tetapi berlanjut ke tuntutan social welfare dan dignity manusia.
Studi kebijakan berkembang sejak tahun 1950. Perkembangannya divirsifikatif, memungkinkan perkembangannya menjadi multidisiplin. Maknanya : objek formalnya berangkat dari satu disiplin ilmu (mungkin pendidikan, mungkin ekonomi, mungkin politik, mungkin psikologi, atau lainnya) dan memanfaatkan teori dan hasil penelitian yang relevan dari banyak disiplin ilmu. Dalam perkembangannya seperti itu tidak menjadi masalah, karena adanya consistency objek formalnya dan sistematisasi telaahnya. Dengan consistency tersebut akan terjaga filsafatnya, bangunan teoritiknya, dan dengan sendirinya juga pengembangannya karena tidak menjadi overlap dengan studi disiplin ilmu lainnya.
Implikasi selanjutnya adalah dapat dipilih pendekatan dan metoda yang sesuai dalam mengolah isseues dan mengembangkannya menjadi studi kebijakan. Merancang penelitian untuk membuat kebijakan, dan diakhiri dengan perencanaan kebijakan berdasar hasil penelitian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar